zum Gesetz


 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG

PERKAWINAN

 

PENJELASAN UMUM:

 

 

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

 

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:

    a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;

    b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

    c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

    d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

    e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;

    f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

 

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

 

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:

    a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

    b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

    c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

    d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

    Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur.

    Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.

    Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, yalah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

    e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

    f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

 

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.

Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

 

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah, ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

 

Pasal 2

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

 

Pasal 3

    (1) Undang-undang ini menganut asas monogami.

    (2) Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

 

Pasal 4

Cukup jelas.

 

Pasal 5

Cukup jelas.

 

Pasal 6

    (1) Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

    Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

 

(2).  Cukup jelas.

(3).  Cukup jelas.

(4).  Cukup jelas.

(5).  Cukup jelas.

(6).  Cukup jelas.

 

Pasal 7

    (1) Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan,

    (2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (5. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku,

    (3).  Cukup jelas.

 

Pasal 8

Cukup jelas.

 

Pasal 9

Cukup jelas.

 

Pasal 10

    Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.

    Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

 

Pasal 11

Cukup jelas.

 

Pasal 12

    Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.

 

Pasal 13

Cukup jelas.

 

Pasal 14

Cukup jelas.

 

Pasal 15

Cukup jelas.

 

Pasal 16

Cukup jelas.

 

Pasal 17

Cukup jelas.

 

Pasal 18

Cukup jelas.

 

Pasal 19

Cukup jelas.

 

Pasal 20

Cukup jelas.

 

Pasal 21

Cukup jelas.

 

Pasal 22

    Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

 

Pasal 23

Cukup jelas.

 

Pasal 24

Cukup jelas.

 

Pasal 25

Cukup jelas.

 

Pasal 26

Cukup jelas.

 

Pasal 27

Cukup jelas.

 

Pasal 28

Cukup jelas.

 

Pasal 29

    Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk ta‘lik talak.

 

Pasal 30

Cukup jelas.

 

Pasal 31

Cukup jelas.

 

Pasal 32

Cukup jelas.

 

Pasal 33

Cukup jelas.

 

Pasal 34

Cukup jelas.

 

Pasal 35

    Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing.

 

Pasal 36

Cukup jelas.

 

Pasal 37

    Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

 

Pasal 38

Cukup jelas.

 

Pasal 39

    (1) Cukup jelas.

    (2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

      a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

      b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;

      c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

      d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

      e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri;

      f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

    (3).  Cukup jelas.

 

Pasal 40

Cukup jelas.

 

Pasal 41

Cukup jelas.

 

Pasal 42

Cukup jelas.

 

Pasal 43

Cukup jelas.

 

Pasal 44

    Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

 

Pasal 45

Cukup jelas.

 

Pasal 46

Cukup jelas.

 

Pasal 47

Cukup jelas.

 

Pasal 48

Cukup jelas.

 

Pasal 49

    Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.

 

Pasal 50

Cukup jelas.

 

Pasal 51

Cukup jelas.

 

Pasal 52

Cukup jelas.

 

Pasal 53

Cukup jelas.

 

Pasal 54

Cukup jelas.

 

Pasal 55

Cukup jelas.

 

Pasal 56

Cukup jelas.

 

Pasal 57

Cukup jelas.

 

Pasal 58

Cukup jelas.

 

Pasal 59

Cukup jelas.

 

Pasal 60

Cukup jelas.

 

Pasal 61

Cukup jelas.

 

Pasal 62

Cukup jelas.

 

Pasal 63

Cukup jelas.

 

Pasal 64

Cukup jelas.

 

Pasal 65

Cukup jelas.

 

Pasal 66

Cukup jelas.

 

Pasal 67

Cukup jelas.

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3019.


zum Gesetz